
Mata Sandi Alfian (32) terlihat berkaca-kaca saat menceritakan masa kritisnya menjalani perawatan di rumah sakit karena terinveksi virus Covid-19 tahun lalu. Kebiasaan merokok sejak masih duduk di bangku sekolah menjadi salah satu penyebab nafasnya tersengal hingga hampir menemui ajal.
Kala itu ia hanya bisa berbaring di ranjang ruang isolasi dengan paru-paru seperti dipenuhi lendir sehingga susah mengambil nafas. Ia benar-benar pasrah dengan kondisinya apalagi keluarga tak diperbolehkan untuk menjenguk. Doa-doa yang dirapalkannya tiap hari menjadi penyamangat hidup agar bisa bertahan dan kembali pada kehidupan semula.

Kini, ia benar-benar kapok untuk menjadi perokok karena membuat kesehatannya memburuk terlebih setelah dinyatakan positif corona. Batuk, napas pendek, badan kurus kering, bibir hitam, dan gigi kuning semakin menggerogoti tubuhnya hingga ia memilih meninggalkan total kebiasaan merokok.
Dulu, hampir semua teman-teman tongkrongan sekolahnya merupakan perokok aktif. Yang tidak merokok dianggap kurang keren sehingga Sandi terbawa kebiasaan teman-temannya. Awalnya ia hanya coba-coba sampai akhirnya ketagihan hingga dalam sehari bisa menghabiskan 24 batang atau 2 bungkus rokok.
Dibalik Bahaya Meledaknya Perokok Anak
Fenomena Sandi yang sudah merokok di bangku sekolah kerap kita temukan di masyarakat. Anak-anak tergiur untuk mencoba rokok karena dorongan dari lingkungan pergaulannya. Terlebih lagi warung kelontong dan minimarket dengan bebas memajang rokok di etalase depan kasir tanpa ada filter minimal usia pembelinya.

Dikutip dari rilis resmi Kementerian Kesehatan RI, penjualan rokok pada tahun 2021 meningkat 7,2% dari tahun 2020, yakni dari 276,2 miliar batang menjadi 296,2 miliar batang. Hal ini pun berakibat pada meningkatnya jumlah konsumen rokok sekitar 70,2 juta orang dewasa dan terjadi peningkatan penggunaan rokok elektrik sebesar 10 kali lipat dari 0,3% di tahun 2011 menjadi 3% di tahun 2021.
Artinya, peningkatan jumlah konsumsi rokok ini juga diiringi data yang mengkhawatirkan yakni turut meningkatnya jumlah perokok anak. Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), dan Sentra Informasi Keracunan Nasional (Sikernas) dari BPOM disebutkan bahwa 3 dari 4 perokok memulai aktivitas merokoknya di usia kurang dari 20 tahun.
Tiap tahun prevalensi perokok anak terus naik yang awalnya di tahun 2013 prevalensi perokok anak mencapai 7,20%, lalu mengalami peningkatan menjadi 8,80% di tahun 2016. Tahun 2018 kenaikannya sebesar 9,10%, kemudian meningkat lagi di tahun 2019 sebesar 10,70%.
Prevalensi perokok anak ini diprediksi akan meningkat hingga 16% di tahun 2030 jika tidak ada upaya pemerintah untuk mengendalikannya. Darurat perokok anak sepertinya harus menjadi tagline nasional agar masyarakat peduli dengan bahaya rokok pada anak.
Degradasi SDM dan Kerugian Ekonomi
Tingginya prevalensi perokok pemula di masa depan dikhawatirkan akan menganggu upaya memunculkan SDM tangguh sebab mereka akan berkembang menjadi generasi muda yang tidak unggul. Oleh karena itu, penting adanya penyempurnaan perlindungan terhadap generasi muda dan anak-anak dari bahaya merokok.

Bappenas memprediksi akan terjadi peningkatan prevalensi perokok pemula khususnya anak-anak dan usia remaja jika tidak ada kebijakan komprehensif untuk menekan angka prevalensi. Jumlah kematian oleh 33 penyakit yang disebabkan perilaku merokok berjumlah 230.862 di tahun 2015 dengan total kerugian makro mencapai Rp 596,61 triliun.
Organisasi nonprofit tobacco free kids melansir data pengguna tembakau di Indonesia per Juli 2021, sebanyak 19,2% anak usia 13-15 tahun merupakan pengguna tembakau (18,8% diantaanya adalah perokok). Faktanya, 290.000 orang terbunuh karena tembakau tiap tahun di Indonesia. Lebih dari 52.000 kematian ini disebabkan oleh paparan asap orang lain (secondhand). Hal ini sekaligus menandakan bahwa tembakau salah satu penyebab kematian terbesar akibat penyakit tidak menular.
Sekitar 59,6% kematian akibat kanker trakea, bronkus, dan paruparu disebabkan oleh tembakau. Tembakau juga menyebabkan 59,3% kematian akibat penyakit paru-paru obstruktif kronis, 28,6% dari kematian akibat penyakit jantung iskemik, 20,6% kematian akibat diabetes melitus, dan 19,7% kematian akibat stroke.
Gangguan kesehatan inilah yang membuat beban biaya hidup masyarakat semakin tinggi. Jika dirata-rata, biaya kesehatan akibat penyakit terkait rokok di Indonesia diperkirakan antara Rp17,9 triliun hingga Rp27,7 triliun. Artinya, jumlah ini setara dengan 0,1% hingga 0,2% Pendapatan Domestik Bruto Indonesia.
Upaya Pencegahan Perokok Anak
BPJS Kesehatan masih mikir-mikir untuk menanggung biaya kesehatan akibat rokok karena jumlahnya cukup besar yakni berkisar 56,3% hingga 58,6%. Sekitar 86,3% hingga 87,6% dari anggaran BPJS Kesehatan itu habis untuk menutup tingginya beban biaya kesehatan yang sebenarnya bisa dicegah ini.

Oleh karena itu, Kementerian Keuangan sebagai instansi pengelola cukai melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) naik rata-rata 12,5%. Kebijakan ini selain untuk membuat efek keekonomian pada perokok secara umum juga akan mengurangi jumlah perokok anak dengan harga rokok yang mahal.
Perubahan PP 109/2012 perlu dilakukan agar meningkatnya perokok anak dapat dicegah. Diantaranya yaitu, memperbesar ukuran pesan bergambar pada kemasan rokok, pengaturan rokok elektrik, promosi dan sponsorship lebih diperketat, penjualan rokok batangan dilarang, serta pengawasan oleh dinas terkait terhadap rokok ini perlu ditingkatkan.
Pemerintah juga harus melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah dengan melakukan razia dadakan oleh pihak sekolah atas larangan merokok. Bisa juga memberikan pengertian dini ke anak usia sekolah dasar tentang bahaya rokok dan menjaga pergaulan mereka agar menghindar dari para perokok. Sebab sebanyak 66,2% anak-anak terpapar di tempat umum dan 57,8% lainnya terpapar di lingkungan rumah sendiri.
Upaya pihak pengawas peredaran rokok pada anak yang masuk ke lingkungan sekolah dirasa cukup efektif karena secara langsung memiliki efek psikologis ke anak-anak. Mereka akan menjadi fokus ke tugasnya sebagai pelajar serta dapat mengurangi kenakalan remaja.

Saya yakin dengan langkah-langkah yang dilakukan pemerintah dengan berbagai kebijakan yang ada, dapat menurunkan jumlah perokok di Indonesia. Perokok anak ini dikhawatirkan bisa menjadi boomerang di masa depan karena dapat menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu meletus. Kesan yang melekat di masyarakat saat memandang perokok sebagai pengangguran, pemicu kriminalitas, dan pengganggu kenyamanan umum masih sangat kental.
Pentingnya Peran Keluarga
Dari kisah Sandi Alfian yang merokok sejak masih sekolah, kita dapat memetik pelajaran bahwa pengawasan orang tua pada anak mutlak diperlukan. Guru sebagai penanggung jawab perilaku siswa di sekolah tak bisa 100% mengawasi aktivitas. Sedangkan orang tua punya kuasa penuh saat anak-anak pulang dari sekolah. Untuk itu peran keluarga sebagai lingkungan pertama yang bersentuhan langsung dengan anak sangat dibutuhkan.
Sandi adalah contoh kecil di antara banyak kisah serupa lain yang terkait buruknya dampak rokok. Pemerintah yang punya visi Indonesia Maju 2045 harus serius memecahkan peermasalahan ini di samping mengupayakan pencegahan sebagaimana kebijakan yang sudah diambil. Pasalnya, kita butuh banyak SDM mumpuni di masa depan untuk menunjang cita-cita menjadi negara maju.

Pendekatan keluarga untuk mencegah adanya kenakalan remaja terutama merokok di usia muda sangatlah penting. Faktor lingkungan juga turut mempengaruhi bagaimana karakter dan perilaku anak kelak. Seorang anak yang sering bergaul dengan teman-teman kalangan dewasa perokok, kemungkinan besar akan tumbuh menjadi perokok. Berawal dari coba-coba atau ingin terlihat keren, lingkungan memaksa sang anak untuk ikut merasakan pahitnya lintingan tembakau.
Oleh karena itu, para orang tua perlu menyekolahkan anak dengan lingkungan sekolah yang baik. Biasanya para orang tua lebih suka menitipkan anaknya di sekolah yang berbasis agama seperti pondok pesantren. Selain kebutuhan akademisnya tercukupi, pendidikan agama juga menjadi bonus tersendiri. Meski tidak ada jaminan bagi anak yang sekolah di pesantren modern jauh dari kenakalan remaja. Lagi-lagi peran lingkungan dan lingkaran temannnya turut membentuk perilaku.
Agar terhindar sebagaimana kasus Sandi Arifin yang menjadi perokok saat usia muda, pendekatan orang tua perlu dilakukan untuk semua aspek. Sesibuk apapun orang tua dalam pekerjaannya, sudah semestinya mereka memperhatikan tumbuh kembang anak. Apakah perilakunya sudah sesuai dengan harapan selama ini atau tidak. Rokok bisa menjadi jalan masuk bagi remaja dan anak-anak muda untuk mengenal dunia yang lebih keras seperti narkotika dan lain sebagainya.
Darurat perokok anak ini bisa menular pada siapa saja. Ada banyak dampak yang tidak kita tahu saat anak mulai bersentuhan dengan perokok. Lebih baik sebagagai orang tua kita menghindarkan anak-anak dari asap rokok sebelum terlambat.