Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Bali tumbuh 5,95% year-on-year pada Triwulan II 2025. Angka ini menjadi salah satu capaian tertinggi di Indonesia, menegaskan Bali tetap menjadi motor pertumbuhan kawasan timur. Namun, di balik angka impresif tersebut, terdapat cerita kompleks: konsumsi rumah tangga yang mendominasi, pariwisata yang kembali menggeliat, hingga sektor pertanian yang justru mengalami kontraksi. Lalu, apa arti semua ini bagi masa depan Bali?
Kekuatan Pendorong Pertumbuhan
Kinerja ekonomi Bali pada Triwulan II-2025 mencatat pertumbuhan sebesar 5,95% (yoy), sebuah lonjakan yang sebagian besar ditopang oleh sektor pariwisata dan akomodasi, meningkatnya konsumsi rumah tangga, serta geliat investasi dan konstruksi.

Sementara itu, konsumsi rumah tangga juga menjadi pilar utama. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga tercatat 5,54% yoy, dipicu oleh momentum-momentum budaya seperti Hari Raya Galungan dan Kuningan yang memicu peningkatan belanja lokal. Konsumsi rumah tangga menjadi pengguna terbesar PDRB Bali berdasarkan harga berlaku.
Di sisi investasi dan konstruksi, indikator investasi tetap bruto (PMTB) menunjukkan pertumbuhan sekitar 6,61% yoy, yang menggambarkan confiança investor — baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA) — terhadap prospek ekonomi Bali. Proyek-proyek pembangunan infrastruktur, seperti perluasan fasilitas pariwisata, pembangunan bandara, dan proyek konstruksi lainnya, mulai menunjukkan realisasi yang signifikan, memperkuat kapasitas sektor riil dalam menopang pertumbuhan jangka menengah.
Di sektor pariwisata dan akomodasi, data BPS Provinsi Bali menunjukkan bahwa lapangan usaha Akomodasi dan Makan Minum mencatat pertumbuhan sebesar 13,93% yoy, menjadi motor utama dalam peningkatan ekonomi lokal. Peningkatan ini ikut disebabkan oleh lonjakan kunjungan wisatawan, baik mancanegara (naik ~16,74%) maupun wisatawan nusantara (naik ~18,85%). Menguatnya tingkat hunian hotel dan aktivitas restoran-restoran di destinasi pariwisata turut memperkuat efek multiplier ke transportasi dan perdagangan lokal.
Faktor Penghambat
Seiring dengan capaian pertumbuhan ekonomi 5,95% year-on-year pada Triwulan II-2025, Bali juga menghadapi sejumlah hambatan nyata yang tak bisa diabaikan. Pertama, sektor pertanian justru mengalami kontraksi sebesar −0,28% (yoy). Penurunan ini terutama dipicu oleh melemahnya produksi padi dan ikan, yang menjadi alarm tentang ancaman terhadap ketahanan pangan lokal dan ekonomi desa.

Kedua, dorongan fiskal dari sisi pemerintah juga menunjukkan kelemahan. Realisasi belanja daerah di Pulau Dewata terkontraksi sekitar 7,40% per Mei 2025 dibanding periode sama tahun sebelumnya, meskipun pendapatan daerah justru tumbuh. Surplus APBD Bali tercatat Rp 2,68 triliun per Mei 2025, tetapi sebagian besar surplus itu muncul bukan karena peningkatan belanja produktif, melainkan karena penghematan dan kontraksi belanja-subsidi dan hibah yang masing-masing turun 28,30% dan 51,44%.
Ketiga, ketergantungan tinggi ekonomi Bali pada pariwisata membuatnya sangat rentan terhadap gejolak eksternal. BI menyebut bahwa sekitar 70% aktivitas pariwisata terkonsentrasi di selatan Bali (kawasan Sarbagita: Denpasar, Badung, Gianyar), dan bahwa korelasi antara penjualan eceran dengan jumlah wisatawan mencapai 88%, menunjukkan bahwa fluktuasi kedatangan wisatawan langsung berdampak ke penjualan dalam negeri dan konsumsi lokal.
Ketika global krisis, pandemi, atau situasi geopolitik mempengaruhi mobilitas wisatawan, dampaknya terasa dalam penerimaan daerah, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Pertumbuhan 5,95% pada Triwulan II 2025 adalah pencapaian membanggakan bagi Bali. Namun, keberlanjutan pertumbuhan lebih penting daripada angka sesaat. Bali perlu memastikan transformasi ekonomi berjalan, agar sektor pertanian tidak ditinggalkan, kesenjangan sosial bisa ditekan, dan ketergantungan pada pariwisata berkurang.
Dimensi Sosial dan Ketimpangan
Meskipun ekonomi Bali mencatat pertumbuhan signifikan, sisi sosialnya menunjukkan bahwa tantangan kemiskinan dan ketimpangan masih terus terasa. Per Maret 2025, persentase penduduk miskin di Bali tercatat 3,72%, atau sekitar 173,24 ribu orang, dengan garis kemiskinan per kapita sebesar Rp 607.847 per bulan. Angka ini memang menurun dari periode sebelumnya (September 2024: 3,80%), tetapi jurang kesejahteraan antarwilayah masih tampak jelas: penduduk miskin di perdesaan mencapai 4,97%, sedangkan di perkotaan berada di 3,27%.
Sektor ketenagakerjaan pun belum sepenuhnya mampu menyerap semua tenaga kerja dari sektor non-pariwisata. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi Bali per Februari 2025 sebesar 1,58%, atau sekitar 43,13 ribu orang, menunjukkan perbaikan dibanding tahun-sebelumnya. Namun demikian, angka ini belum mengindikasikan bahwa seluruh kekosongan lapangan kerja non-pariwisata—terutama di sektor pertanian, kerajinan, dan usaha mikro—telah sepenuhnya pulih atau berkembang.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Bali juga tercatat cukup tinggi, yaitu 77,76 pada 2024, melebihi angka nasional yang sekitar 74,20, namun indikator ketimpangan (Misalnya indeks Gini atau TKR)—meskipun menurun dalam beberapa tahun terakhir—masih menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi belum dirasakan merata oleh seluruh masyarakat, terutama di wilayah pedesaan dan sektor tradisional.
Transformasi Ekonomi: Jalan Panjang Bali
Transformasi ekonomi di Bali kini tidak lagi sekadar wacana, melainkan mulai direalisasikan lewat diversifikasi sektor yang strategis. Pemerintah Provinsi Bali melalui Gubernur Wayan Koster menggarisbawahi bahwa struktural ekonomi Bali perlu lebih seimbang — tidak hanya bergantung pada pariwisata, tetapi memperkuat sektor pertanian, kelautan-perikanan, ekonomi kreatif, digital, dan energi baru terbarukan (EBT). Sebagai contoh konkret, dari 71 ribu hektar sawah di Bali, sekitar 77 persen sudah dikelola secara organik pada 2024, sebuah langkah maju dalam peningkatan kualitas pangan dan menjaga ekosistem lokal.
Pada sektor kelautan dan perikanan, pemerintah juga mengembangkan potensi yang belum maksimal, seperti pengembangan aktivitas wisata bahari, produk perikanan tangkap dan budidaya, serta produk hiasan laut (ornamental) yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Pelabuhan Perikanan Nusantara Pengambengan di Jembrana sedang direncanakan menjadi pelabuhan modern yang terintegrasi — sebuah inisiatif yang menunjukkan bahwa kelautan bukan hanya untuk konsumsi lokal, tapi juga untuk ekspor dan industri hilir.
Di ranah ekonomi kreatif dan digital, strategi “Pulau Digital” dan regulasi ekonomi kreatif/budaya digital diperkuat. Pemerintah mendukung komunitas kreatif dan UMKM dengan kebijakan penggunaan produk lokal, regulasi untuk konservasi budaya, hingga dukungan terhadap talenta digital. Salah satu wujudnya: pembangunan industri berbasis budaya branding Bali serta pengembangan industri EBT seperti produksi solar dan baterai yang dijadwalkan dibangun di kawasan industri Jembrana seluas 50 hektar, yang akan memperkuat rantai hulu-hilir energi bersih.
Transformasi ini juga berakar pada pengalaman krisis global, terutama pandemi COVID-19. Ketika pariwisata nyaris terhenti, ekonomi Bali yang sangat tergantung pada sektor tersier mengalami guncangan berat. Pelajaran utamanya: ketergantungan tunggal pada pariwisata menjadikan ekonomi rentan. Oleh karena itu, strategi pemulihan jangka panjang meliputi penguatan sektor primer dan sekunder agar struktur ekonomi menjadi lebih tahan terhadap guncangan. Perlu adanya sinergi antara pemerintah daerah pusat, pengembangan sumber daya manusia, dan regulasi yang mendukung inovasi agar diversifikasi bukan hanya slogan, tetapi fakta yang memberikan manfaat bagi masyarakat luas.
Di tengah semua dinamika ini, peran data menjadi kunci. Tanpa data yang akurat, kebijakan pembangunan bisa salah arah. Karena itu, ketika petugas BPS datang ke rumah untuk melakukan survei, mari kita sambut dengan baik dan berikan jawaban jujur. Partisipasi masyarakat dalam survei BPS bukan sekadar kewajiban, melainkan investasi sosial untuk masa depan Bali yang lebih sejahtera dan berkelanjutan.