Secangkir teh hangat menyambut kedatangan tim warta fiskal di kediaman salah satu Anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI (Wantimpres), Sidarto Danusubroto. Tim harus melalui protokol kesehatan yang ketat sebelum bertandang ke Kemang – Jakarta Selatan yakni rapid test, memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, dan meminimalisasi kontak fisik.
“Silakan di minum tehnya. Nanti kita lanjutkan ngobrol-ngobrolnya,” ucap pria berkacamata yang akrab disapa Sidarto tersebut.
Sidarto lalu melanjutkan kisah perjalanan hidup sebagai abdi negara. Ia merupakan saksi sejarah yang hidup di tujuh presiden berbeda. Mulai kebijakan pemerintah di era orde lama, orde baru, hingga reformasi, ia pernah merasakan semuanya.
Kenangan terbesarnya yaitu saat ditunjuk sebagai ajudan Presiden Soekarno (1967-1968) hingga ditunjuk sebagai Anggota Wantimpres di Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Bahkan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Sidarto sempat menduduki jabatan strategis Ketua MPR RI menggantikan Almarhum Taufik Kiemas.
Selepas jadi Ajudan Bung Karno, Sidarto dipercaya menjadi Kapolres Tangerang (1974-1976), pada zaman Orde Baru. Selanjutnya Sidarto memegang jabatan-jabatan strategis seperti Kepala Interpol (1976-1982), Kepala Satuan Komapta Polri (1982-1985), dan Wakapolda Jawa Barat (1985-1986).
Di usia yang mencapai 84 tahun, Sidarto terlihat bugar karena hampir tiap pagi ia berenang di kolam belakang rumahnya selama 30 menit. Konon hobi olahraga itu ia lakukan sejak masih aktif menjadi perwira polisi.
“Saya tiap hari berenang kalau tidak ada agenda keluar kota. Di musim pandemi seperti ini saya lebih banyak beraktivitas di dalam rumah seperti ikut webinar, rapat kabinet, membaca dan menulis buku, juga menulis untuk surat kabar,” ungkap jebolan International Police Academy Virginia United States 1962.
“Kalau tidak ada pandemi saya sering diundang untuk bedah buku, pembicara seminar, menjadi narasumber di berbagai stasiun TV, juga hampir setiap hari berdiskusi dengan rekan-rekan kerja yang jauh lebih muda,” tambahnya.
Bagi suami Almarhumah Sri Artiwi itu, usia hanyalah deretan angka. Tidak ada batasan bagi seseorang untuk berhenti beraktivitas ketika mencapai usia pensiun.
Buktinya, sudah banyak buku yang sudah ia tulis di usia senjanya. Di antaranya adalah “DPR Bukan Taman Kanak-Kanak : Bicara Stigma di Usia 70 tahun : Produktivitas Dewan versus Kesenjangan Birokrasi tahun 2006“ dan“Jalan Terjal Perubahan: Dari Ajudan Soekarno sampai Wantimpres Joko Widodo : 80 tahun Sidarto Danusubroto tahun 2016.“
“Saya tetap melakukan kunjungan kerja di dalam dan luar negeri ketika masih bertugas. Sudah berkeliling dari Sabang sampai Merauke dan berkeliling ke lima benua. Pernah juga mengunjungi negara-negara dengan suhu ekstrem, seperti Afrika diatas 40 derajat sampai minus 38 derajat di Rusia saat usia saya sudah 77 tahun,” tutur pria yang pernah bertatap muka dengan Nelson Mandela tahun 1989.
Banyak petuah yang disampaikan Sidarto sebagai sesepuh bangsa kepada generasi milenial. Salah satunya yaitu anak-anak muda jangan sampai melupakan sejarah dan asal-usulnya.
“Saya bisa mengabdi pada negara hingga di umur sekarang itu berkah dari leluhur-leluhur saya terdahulu”, ujarnya.
“Saat masih muda, saya biasa ziarah ke makam buyut atau leluhur saya di pemakaman keluarga Sentono Dalem Perdikan Majan, Tulungagung, Jawa Timur. Buyut saya di sana ada yang jadi Bupati Ngrowo/Tulungagung dan masih trah Kesultanan Yogyakarta jadi saya termasuk keluarga Sentono Dalem Perdikan Majan”, sambung peraih penghargaan MURI sebagai abdi negara selama 56 tahun.
Menurut penuturan pria kelahiran Pandeglang Banten, 11 Juni 1936 itu, leluhur sang istri juga berasal dari keturunan Kesultanan Yogyakarta. Tepatnya dari trah R.A.A. Danoediningrat I, Bupati Kediri ke-9 di tahun 1928-1929.
Penikmat suara kalkun di pagi hari ini mengawali tugas sebagai korps Bhayangkara di Polsek Jampang Kulon pada 1960-an. Kemudian menuntaskan tugas dan pensiun sebagai Kapolda Jawa Barat pada 1991, setelah sebelumnya bertugas sebagai Kapolda Sumatera Bagian Selatan (1986-1988).
Sidarto sebenarnya tidak bercita-cita menjadi seorang polisi. Ayahnya pensiun dini dari Sinder Kehutanan Karesidenan Banten karena terkena malaria tropika. Sang Ayah kemudian bekerja sebagai kepala rumah sosial milik Pemerintah Daerah Yogyakarta.
Dengan kondisi sulit seperti itu, untuk biaya sekolah Sidarto merasa kesusahan. Sampai akhirnya ia selalu mencari sekolah yang memberikan beasiswa. Sidarto mendaftar ke PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) juga karena PTIK memberikan beasiswa Rp 550 per bulan.
“Hidup yang manfaat menuntut cucuran keringat dan pengorbanan. Rejeki dan nasib seseorang tidak bakal tertukar,” katanya sambil teringat perjuangan di masa kecil.
Selepas pensiun sebagai polisi, ia menjadi pengusaha dan anggota DPR RI tahun 1999-2014. Di sela-sela kesibukan sebagai anggota dewan, ia menulis buku berjudul Dari Ajudan Sampai Wakil Rakyat pada 2003.
Ketika menjadi anggota DPR, Sidarto tidak pernah lelah melontarkan ide-ide progresif di berbagai forum. Salah satu hal yang diperjuangknnya kala itu yaitu lahirnya UU Pertahanan Negara tahun 2002 dan UU TNI tahun 2004. Dua UU tersebut menjadi titik puncak dari pergulatan reformasi TNI untuk menjadi alat pertahanan negara yang profesional.
“Kesempurnaan berbakti pada bangsa dan negara tidak terbatas pada posisi yang diraih, yang paling utama adalah bagaimana kita bisa berpijak pada prinsip dan ideologi,” kata Anggota Wantimpres yang pernah mengibarkan bendera Palestina di depan White House Amerika Serikat.
Sebagai pria sepuh yang biasa dipanggil ‘Oppa’ itu, ia seringkali meluangkan waktu untuk keluarga di tengah kesibukan sebagai pejabat negara. Hampir setiap akhir pekan ia gunakan waktu istirahatnya dengan bercengkrama bersama anak dan cucu-cucunya.
Ia akan bercerita dan mengajak diskusi tentang banyak hal kepada mereka. Tentang sejarah, budaya, perjalanan hidup, dan makanan khas di daerah yang pernah dikunjunginya.
Sebagai mantan perwira polisi, ia merupakan sosok yang enggan memanjakan kelima anak-anaknya. Ia mendidik mereka tentang nilai-nilai kehidupan. Bagaimana cara menjadi manusia mandiri yang punya integritas, disiplin, tegar, tidak mudah mengeluh, selalu memberikan terbaik di setiap apa pun yang dilakukan, menghormati orang tua, membantu orang kesulitan dan masih banyak lagi.
Peraih Penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana dari Presiden SBY tahun 2014 itu juga mengingatkan pentingnya menjaga kesehatan saat wabah Covid 19. Saat ini jumlah penderita positif semakin bertambah di seluruh dunia.
“Pesan saya kepada kalian semua dan keluarga, jangan sampai mengabaikan protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah. Sebab pandemi Covid 19 masih ada”, kata Sidarto yang hobi memelihara ayam cemani di halaman belakang rumahnya. (@bagus_rosyid)