Pemerintah saat ini mempunyai dua program bantuan sosial (bansos) kemasyarakatan yang berbentuk stimulus dan pemberdayaan. Dua bentuk ini memiliki karakteristik dan tujuan yang berbeda.
Stimulus diberikan sebagai upaya pemerintah untuk mempertahankan daya beli masyarakat miskin dari risiko ekonomi. Sedangkan pemberdayaan berupa bantuan permodalan diberikan pada masyarakat miskin agar bisa mandiri dengan pendampingan konsultasi.
Bansos yang bersifat stimulus misalnya Program Indonesia Pintar, Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN-KIS), Program Keluarga Harapan (PKH), & Bansos Rastra/ Bantuan Pangan Non Tunai.
Sedangkan bansos yang bersifat pemberdayaan misalnya program e-Waroeng yang dijalankan oleh Kementerian Sosial RI, program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disalurkan oleh perbankan di bawah koordinasi Kantor Menteri Koordinator Perekonomian RI, dan Pembiayaan Ultra Mikro (UMi) yang dikelola oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP) Kementerian Keuangan RI.
Peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal, Ir. Syahrir Ika, mengatakan bahwa ada hal-hal yang membedakan antara ketiga model bansos pemberdayaan di atas, salah satunya yaitu segmentasi pasar.
“E-Waroeng dikhususkan bagi rumah tangga miskin yang tidak memiliki usaha ekonomi. UMi segmennya di atas rumah tangga penerima bansos yang mulai melakukan usaha secara ekonomi (feasible) tapi kesulitan mendapatkan akses pemodalan dari lembaga keuangan non bank. Contohnya ya penjual rokok, rumah makan kecil-kecilan, para pedagang di pasar-pasar rakyat, nelayan-nelayan skala kecil, petani, dan lainnya,” kata Syahrir yang juga pernah menjabat Direktur PIP Kemenkeu ini.
“Nah kalau KUR, sasarannya masyarakat/UMKM yang memenuhi syarat bank atau koperasi. KUR biasanya butuh modal di atas Rp10 juta hingga Rp500 juta, sedangkan pembiayaan UMi maksimal Rp10 juta,” lanjutnya.
Mimpi Memangkas Kesenjangan Sosial
Badan Pusat Statistik RI (BPS) pada tahun 2018 melaporkan terdapat sekitar 44 juta rumah tangga miskin yang masuk dalam kategori fakir dan miskin. Dengan keadaan tersebut, mereka tidak mampu mengakses dana KUR karena dianggap tidak bankable.

Selain kemiskinan, kesenjangan sosial di Indonesia juga ternyata cukup tinggi. BPS mencatat indeks gini (gini ratio) Indonesia masih di level 0,39. Artinya apa? Kesejahteraan belum merata, masih ada gap antara si kaya dan si miskin. Hal ini juga berarti pertumbuhan ekonomi belum berkualitas meski tiap tahunnya mencapai sekitar 5 persen.
Oleh karena itu pemerintah mencari formulasi yang tepat untuk merangkul masyarakat yang bergerak di atas segmen bansos namun tidak bisa mengakses dana KUR. Pada tahun 2017, pemerintah menemukan racikan program efektif untuk memberdayakan masyarakat miskin yang ingin berwirausaha namun kesulitan dana perbankan. Program itu dinamakan pembiayaan Ultra Mikro (UMi).
“Awalnya ada audit Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK) terhadap laporan keuangan pemerintah tahun 2016, salah satu temuannya adalah sasaran KUR tidak bisa diyakini. BPK meminta pemerintah untuk memastikan apakah KUR benar-benar tepat sasaran? Kenapa masyarakat miskin yang tidak punya jaminan aset tidak bisa mengakses dana perbankan?” ungkap pria yang juga Ketua Himpunan Peneliti Indonesia itu.
“Untuk itulah UMi lahir sebagai jawaban pemodalan kepada masyarakat miskin yang akses dana KUR-nya ditolak bank. Ibaratnya, orang-orang kecil itu biar berwirausaha dan mandiri. Tidak menggantungkan bansos pemerintah terus. Barangkali nanti usahanya maju sehingga punya aset untuk meminjam dana KUR di bank“, tambahnya.

Mengenal Pembiayaan Ultra Mikro (UMi)
Dasar hukum yang menjadi payung Pembiayaan UMi ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.05/2017 tentang Pembiayaan Ultra Mikro. PIP sebagai Badan Layanan Umum (BLU) di bawah Kementerian Keuangan RI, ditugaskan sebagai Koordinator dana (coordinated fund).
PIP kemudian menunjuk beberapa Lembaga Keuangan Non-Bank termasuk Koperasi, untuk bertindak sebagai penyalur pembiayaan UMi. Ide awalnya terinspirasi dari misi pemerintah untuk mempercepat proses pengentasan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan kesenjangan ekonomi.
Berdasar data Direktorat SMI Ditjen Perbendaharaan tahun 2017, penyaluran KUR oleh Bank Perkreditan Rakyat (BRI) dan beberapa bank penyalur lain mencapai angka Rp100 triliun. Dari anggaran sebesar itu, jumlah nasabahnya masih sedikit, di bawah 17 juta UMKM atau sekitar 22 persen dari keseluruhan UMKM di Indonesia. Sedangkan masih ada 44 juta pengusaha (78%) yang belum mendapatkan pembiayaan.
Pemerintah tidak bisa serta merta mengintervensi dunia perbankan agar menyalurkan KUR kepada UMKM yang belum memenuhi persyaratan. Oleh karena itu, pemerintah membuat pembiayaan alternatif yang tidak memberatkan kantong APBN sehingga terbebas dari potensi kerugian negara. Maka ditunjuklah PIP yang berstatus BLU untuk mengelola pembiayaan UMi.
Skala pembiayaan UMi ini berkisar antara Rp1 juta-Rp10 jutaan per nasabah untuk tenor 1 tahun. Adapun tujuannya yaitu membantu masyarakat miskin untuk membuat usaha dengan jangka waktu pinjaman satu tahun dengan sistem bagi hasil (profit sharing).

Dengan begitu ibu rumah tangga yang menjadi sasaran nasabah pembiayaan UMi dapat menambah pendapatan suami dengan berwirausaha. Hal ini selaras dengan misi pemerintah untuk meningkatkan pemerataan kesejahteraan.
“Pada dasarnya pemerintah ingin mensinergikan ketiga program ini (Bansos, UMi, dan KUR) agar bansos punya motif pemberdayaan yang lebih mendidik masyarakat. Selain itu segmentasi yang berbeda dari ketiganya, perlu intervensi pemerintah agar bansos dan UMi tepat sasaran,” Syahrir menjelaskan.
Target dan Penyaluran Pembiayaan UMi
Grameen Bank yang dikembangkan Muhammad Yunus, pakar microfinance dari Bangladesh memberikan inspirasi terhadap praktik pembiayaan sederhana untuk masyarakat miskin. Peraturan ketat yang biasanya diterapkan bank kepada nasabah seperti adanya jaminan atau agunan (bankable), usaha harus berbadan hukum (legal base) serta mengutamakan nasabah individu (individual lending) dihilangkan.
Model microfinance seperti inilah yang diterapkan dalam Pembiayaan UMi sehingga bisa dijangkau secara luas oleh masyarakat bawah tanpa aturan bisnis tertentu. Harapannya, pengaruh keekonomian dan dampak inklusi keuangan jauh lebih besar dibandingkan KUR yang nasabahnya terbatas.
Kelompok ibu-ibu rumah tangga menjadi target nasabah dalam pembiayaan UMi ini. Alasannya, ibu rumah tangga punya banyak waktu untuk berbisnis sesuai dengan passion dan kemampuan manajerialnya. Skema pembiayaan seperti ini biasanya disebut juga dengan “taylor made” dengan satu kelompok terdiri dari 15-20 orang.

PIP sebagai coordinated fund untuk membiayai masyarakat not-bankable, tidak mendirikan usaha microfinance baru. Akan tetapi mendorong lembaga-lembaga keuangan mikro (LKM) yang sudah ada, kompeten, dan memiliki prestasi dalam melayani pembiayaan bagi masyarakat-masyarakat yang not-bankable. LKM tersebut harus sesuai dengan persayaratan yang ditetapkan pemerintah dan mampu memitigasi risiko yang dapat ditimbulkan.
LKM yang dimaksud di antaranya PT Permodalan Nasional Madani/PNM (Persero), PT Pegadaian (Persero) dan PT Bahana Artha Ventura (BAV) – anak perusahaan PT Bahana Pembangunan Usaha Indonersia/BPUI (Persero).
Amanat PMK No.22/2017 mewajibkan LKM penyalur untuk meng-appload data nasabah ke Sistem Informasi Kredit Program (SIKP) sebelum PIP menyetujui penyaluran dana UMi baik direct dari LKM ke nasabah maupun indirect melalui LKM lalu ke koperasi-koperasi simpan pinjam dan kemudian ke nasabah. Kepastian akan ketepatan sasaran nasabahnya juga bisa dilakukan rekonsiliasi dengan Kantor Pelayanan Pemberdayaan Negara (KPPN) di wilayah nasabah tersebut berada.
“Pada intinya dari pembiayaan UMi yang sudah diberikan kepada nasabah akan ada evaluasi. Adakah dampak keekonomiannya? Misalnya pengeluaran yang terkait dengan makanan, non-makanan, pakaian, kesehatan, pendidikan, dan jenis rumah. Sementara dampak keekonomian usaha meliputi perubahan-perubahan pada sisi aset, omzet, dan profit dari usaha para nasabah UMi. Harapannya, dengan perubahan ekonomi masyarakat miskin itu berdampak pula pada upaya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan,” tutup Syahrir.
*Penulis adalah Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu