‘Penemu Listrik’ dari Air Sungai Baccu-Baccu

1

Dimanakah Letak Perbukitan Coppo Tile?

Pernah dengar perbukitan Coppo Tile di Sulawesi Selatan? Saya yakin sebagian besar anak-anak sekolah di negeri ini tidak tahu dimana lokasi perbukitan itu berada. Karena memang tidak tercantum di peta buta Indonesia. Terpencil.

Sebuah kampung bernama Ampiri adalah salah satunya yang letaknya di perbukitan Coppo Tile. Untuk mencapai kampung ini, kita harus menyusuri jalan setapak yang bersisian langsung dengan jurang. Yang membuat jalanan ini menegangkan yaitu hanya bisa dilewati oleh satu mobil saja. Wow.

Jalannya masih terbuat dari tanah cadas yang belum diaspal. Jika musim hujan tiba, tanahnya sangat licin dan roda kendaraan rawan selip sebab terpeleset batuan. Ditambah lagi kondisi medan yang curam dan berliku.

Perbukitan Coppo Tile, Kabupaten Barru

Seperti daerah terpencil pada umumnya di Indonesia, Kampung Ampiri sampai saat ini masih kesulitan dalam hal sinyal telekomunikasi. Jangankan sinyal telepon atau internet, listrik untuk penerangan di malam hari saja masih digunakan secara terbatas. Jumardin, Kepala Desa Bacu-Bacu, Kabupaten Barru, mengatakan bahwa listrik mulai masuk ke desanya sekitar tahun 2016 dengan kondisi belum sempurna alias sering ada pemadaman listrik.

Penemu Listrik Tenaga Mikrohidro

Seorang anak muda dari Kampung Ampiri bernama Harianto Albarr tergugah melihat kondisi desanya yang belum teraliri listrik. Kondisi daerah yang jauh dari pusat kota dan terpencil adalah salah satu kendala kenapa listrik susah masuk ke wilayah ini. Selain itu, fasilitas untuk pengadaan gardu, tower listrik, kabel, dan genset dibutuhkan biaya yang sangat mahal.

Harianto Albarr, mahasiswa semester tiga Jurusan Kimia di Universitas Negeri Makasar, pada 2008 memulai proyeknya membuat mikrohidro listrik bertenaga air sungai. Sebagai orang pertama di kampungnya yang mencicipi bangku kuliah, Harianto merasa perlu membuat terobosan yang dapat dinikmati banyak orang.

Harianto Albarr dan Mesin Kincirnya

Dia mulai memetakan potensi alam yang ada di kampungnya, salah satunya adalah air sungai yang berlimpah. Dia teringat salah satu konten di Youtube, bagaimana membuat pembangkit listrik bertenaga air.

Masa Kecil Tidak Bisa Nonton Kartun di Televisi

Berawal dari keinginannya agar anak-anak di Kampung Ampiri dapat menonton kartun di televisi, Harianto berusaha menciptakan listrik mandiri tanpa harus mengandalkan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PT PLN).

“Biasanya PLN itu tidak setiap hari nyala, banyak kendalanya. Kalau kemarau angin kencang maka kabel kan rusak. Lalu hujan, juga meletus-meletus (kabelnya),” ungkap  Jumardin menerangkan kondisi listrik di desanya.

“Jadi harus berdampingan dengan mikrohidro. Kalau PLN padam, mikrohidro tetap mengalirkan listrik,” lanjutnya dengan penuh harap.

Kincir Air di Kampung Ampiri

Harianto awalnya mendapat cibiran dari warga saat bercerita tentang mimpinya untuk membangun pembangkit listrik bertenaga air. Apalagi, Harianto hanyalah warga yang mendapatkan ijazah SD hasil dari ujian kesetaraan Paket A Warga Kampung Ampiri tidak percaya, air sungai dapat menghasilkan listrik. Listrik pasokan PLN saja seringkali padam dan jarang digunakan warga untuk kebutuhan sehari-hari.

Berasal Dari Keluarga Petani

Harianto memang bukan berasal dari keluarga berada. Kedua orang tuanya bekerja sebagai petani. Saat kecil, dia sering berjalan kaki untuk berjualan beras sebelum berangkat sekolah. Dia menempuh jarak 20 kilometer untuk pergi ke pasar dan berjualan. Sebagian hasil penjualan beras itu dia belikan ikan kering sebagai lauk pauk di rumah.

Melihat respon warga yang kurang berpihak, Harianto semakin bertekad untuk mewujudkan keinginannya. Rasa ingin tahunya sangat besar sehingga dia harus belajar secara otodidak untuk membuat listrik mikrohidro.

Ruang Kendali Mesin

Jawaban dari usahanya, dia mulai membuat model kincir angin bambu agar air sungai dapat menggerakkan turbin. Turbin yang bergerak secara terus-menerus itulah nantinya akan menjadi listrik.

Harianto menggunakan peralatan yang ada di sekitarnya untuk dimanfaatkan. Beberapa barang seperti kabel dan pipa yang tidak dapat digantikan dengan barang lain, dibeli kurang lebih habis Rp 4 juta.

Hasil dari uji coba pertamanya itu menghasilkan listrik tak lebih dari 1.000 watt. Daya sebesar itu hanya mampu menyalakan lampu berkekuatan 5 watt saja. Namun lompatan inilah yang akan mencatatkan sejarah, Kampung Ampiri menghasilkan listrik sendiri bertenaga mikrohidro untuk pertama kalinya.

Empat tahun kemudian, dibangun sebuah ruang kontrol di pinggir Sungai Ampiri untuk menggerakkan turbin listrik. Harianto lalu menjelaskan, bagaimana proses air sungai diubah menjadi listrik.

“Listrik pembangkit tenaga mikrohidro ini sederhana, intinya energi atau kekuatan air itu diubah menjadi listrik dengan perantara turbin,” katanya dengan wajah bersemangat.

“Pertama air dibendung lalu, dari turbin itulah menggerakkan dinamo sehingga menjadi energi listrik. Itulah yang dialirkan ke rumah melalui kabel-kabel, sederhana sekali,”lanjut pria berkumis tipis ini.

Briefing Petugas Jaga

Sudah 30 Desa yang Memakai Listrik Mikrohidro

Keberhasilan Harianto membuat pembangkit listrik bertenaga mikrohidro itu kemudian memacu kampung-kampung lain untuk mengikuti jejak Kampung Ampiri. Tercatat, sampai dengan saat ini sudah ada 30 desa yang memanfaatkan listrik bertenaga mikrohidro buatan Harianto. Adapun sebaran desa terpencil itu tidak janya di Sulawesi Selatan, melainkan juga di desa-desa Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Maluku Utara.

Dari puluhan desa yang menggunakan tenaga mikrohidro, setidaknya ada 1.000 hingga 2.000 rumah yang menikmati pasokan listrik. Turbin-turbin itu dijaga oleh warga desa dengan total biaya perawatan sekitar Rp 500 ribu/bulan. Di Kampung Ampiri sendiri, waga sekitar secara swadaya iuran sebesar Rp15 ribu/bulan untuk merawat turbin. Bagi yang tidak punya uang bisa membayar dengan tiga liter beras per rumah.

“Kalau kami mau buat (mikrohidro) di sebuah desa, saya buatkan kelompok dulu. Kelompok ini yang nanti berperan, bagaimana komunikasi ke masyarakat setempat juga mereka jadi pengelola pasca pembangunan dan saat digunakan di masyarakat,” terang pria yang sedang melanjutkan pascasarjana di Universitas Negeri Makasar ini.

Terobosan untuk Penyelamatan Perubahan Iklim

Apa yang dilakukan Harianto ini merupakan penemuan besar bagi masyarakat yang hidup jauh dari fasilitas pemerintah. Terlebih lagi Kampung Ampiri merupakan kampong terpencil yang dikelilingi batuan cadas di atas bukit. Dia berhasil menjadi pahlawan listrik untuk desanya dan desa-desa lain yang belum tersentuk listrik.

Dalam peta ketenagalistrikan 2016, Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) menerangkan masih ada 12.659 desa yang belum teraliri listrik. Biasanya hal ini terjadi karena akses menuju daerah-daerah tersebut sangat sulit. Sehingga pemerintah belum optimal melayani warganya dalam pengadaan listrik.

Di antara Mesin Pengendali

Atas capaiannya ini, Harianto menerima penghargaan Subroto Bidang Inovasi Energi Kategori Prakarsa Perorangan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan. Karyanya ini dia beri nama Mandiri Pro Nusantara-Indonesia (MPN-Indonesia) dan sudah publikasikan sejak tahun 2012.

Pembangkit listrik tenaga mikrohidro ini juga dapat mengurangi dampak perubahan iklim di Indonesia karena sumber dayanya memanfaatkan aliran sungai. Hal ini bisa menjadi salah satu sumber energi alternatif menggantikan sumber daya bahan bakar yang dipakai PLN selama ini. Bayangkan, berapa banyak penghematan yang dapat dilakukan jika sumber energi ini dilirik oleh pemerintah. Isu yang paling besar tentu bisa dijadikan solusi pengurangan emisi karbon sebab penggunaan air sungai untuk listrik tidak melepas karbon ke udara yang menyumbang pencemaran lingkungan.

Rosyid Bagus Ginanjar Habibi

redaksi

One thought on “‘Penemu Listrik’ dari Air Sungai Baccu-Baccu

Leave a Reply to Nurdin Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

Cyber Drone 9, Senjata Pemusnah Hoaks Milik Kominfo

Tue Aug 27 , 2019
Saat terjadi kerusuhan di Papua tanggal 19 Agustus kemarin, Teguh Arifiyadi geram bukan main. Pasalnya ia gagal berangkat ke Sorong untuk mengajar sebuah lembaga di sana. Setelah memastikan semua informasi yang dikumpulkan valid, penggagas Indonesia Cyber Law Community itu memutuskan untuk menunda keberangkatan sambil memantau situasi. Perayaan kemerdekaan 17 Agustus […]
error: Content is protected !!
FISCAL.ID